Muzayyin
Banyak kita temukan para orang tua dari keluarga modern yang selalu
mengatakan kepada putra atau putrinya “nak
lebih baik kamu sekolah di sekolah formal saja,biar nggak gaptek dan gampang
cari kerjanya” , atau dari keluarga over-agamis yang selalu menasehati anaknya untuk tidak sekalipun tersentuh
dengan pendidikan formal karna
menganggap materi yang diajarkan sangat
tidak bermanfaat.
Allah SWT. Berfirman dalam surat
Al-Qosos ayat : 77 :
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Carilah negeri AKHIRAT
pada nikmat yang diberikan Allah kepadamu, tapi jangan kamu lupakan bagianmu
dari dunia“. (QS. Al-Qosos: 77).
Dalam ayat ini, Allah
memerintahkan kita agar memanfaatkan nikmat dunia yang Allah berikan, untuk
meraih kemuliaan akherat,atau secara simple-nya: korbankanlah duniamu, untuk
meraih akheratmu! Artinya, memang dunia adalah suatu keniscayaanbagi kita untuk melaluinya sebelum
akherat,semua orangpun mengetahuinya,akan
tetapi jangan lupa sekali lagi pada ayat yang telah tertulis di atas,Allah
mengatakan “tapi jangan kamu lupakan bagianmu dari dunia” Ya,
“bagianmu”, yakni bagian kecil dari duniamu, bukan setengahnya, apalagi
semuanya. Jelas sekali dari ayat ini, bahwa kita harusnya mementingkan akherat,
bukan seimbang dengan dunia, apalagi mendahulukan dunia,cukup kita ambil
sedikit saja dari dunia untuk kita jadikan sebagai jembatan sekaligus bekal
kita di akherat kelak.
Selanjutnya berkaitan dengan
nasehat orang tua over-agamis tadi,yang tidak hanya meng-anak tirikan
pendidikan formal saja,bahkan mengabaikanya seolah-olah tidak pernah ada.Apakah
kemudian hal tersebutpun termasuk dari hal duniawi yang harus ditinggalkan?
Sebelum kita melangkah lebih
jauh,ada satu kesimpulan yang harus kita ketahui terlebih dahulu,yaitu;bahwa
permasalahan yang tersisa berlabuh pada perkara antara pendidikan formal dan
non formal,bukan mengenai “harus ditinggalkan atau tidak” karna mungkin
dianggap duniawi.
Dalam satu kesempatan ketika diadakan
seminar pra-ospek mahasiswa, kami pernah mendengar seorang profesor memaparkan
perspektif Imam Al-Ghozali tentang pembagian antara pendidikan formal dan non-
formal,namun karna suasana waktu itu kurang begitu mendukung maka hanya sedikit
yang bisa kami tangkap dari pemaparanya,akhirnya karna kami anggap penting tema
seminar itu,maka kami putuskan untuk mencari pembahasanya di berbagai buku dan
artikel,hasilnya kami menemukan pembahasan yang kami anggap memuaskan di sebuah
artikel,isi artikelnya yaitu sebagai berikut:
Dewasa ini, kita sudah terbiasa
dengan sebutan ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama lebih berorientasi dan
berbasiskan pada wahyu, hadits Nabi, penalaran dan fakata sejarah sudah
berkembang demikian pesat. Selanjutnya ilmu umum yang lebih berbasis pada
penalaran akal dan data empirik juga berkembanglebih pesat. Antara keduanya
seakan terdapat pemisahan wilayah dan seharusnya berjalan sendiri-sendiri.
Hal yang mendasar adalah pemahaman
dan penilaian terhadap ilmu dan agama. Dalam pandangan Islam, ilmu mempunyai
posisi yang sangat tinggi. Tidak mengherankan jika dalam nash-nash al-Qur’an
ditemukan anjuran untuk menuntut ilmu. Bahkan ayat pertama kali yang diturunkan
kepada Muhammad pun adalah anjuran untuk membaca dan belajar. Begitu juga agama,
agama yang lebih dipahami sebagai suatu bentuk tingkah laku demi pendekatan
diri kepada Tuhan juga tidak kalah penting.
Al-Ghazali merupakan salah satu
tokoh yang menentang adanya dikotomi antara ilmu dan agama. Bagi al-Ghazali, kedua seperti mata rantai
yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan bahkan berjalan
sendiri-sdendiri. Al-Ghazali sangat getol dalam penentangannya akan dikotomi
ilmu dan agama. Argumentasi-argumentasi yang dipaparkannya pun menjajjikan
bahkan beliau juga memberikan penggambaran yang nyata akan hubungan keduanya.
Yang menjadi persoalaan adalah
dikotomi antara ilmu dan agama telah mengakibatkan adanya dikotomi antara ilmu
umu dan ilmu agama. beberapa golongan merasa bahwa islam adalah sumber
segalanya, ilmu-ilmu umum yang notabene berasal dari non Islam tidak patut
untuk mendapat apresiasi. Sebaliknya sebagian dari mereka juga ada yang
beranggapan bahwa ilmu adalah pusat kebenaran. Dengan ilmu seseorang akan hidup
bahagia dimanapun berada khususnya di dunia ini.
Imam al-Ghazali merupakan salah
satu tokoh agama yang sangat terkenal dikalangan orang islam. Selain tokah
agama, beliau juga terkenal ahli dalam berbagai ilmu. Baik ilmu tasawuf,
filsafat dan logika. Kemampuannya dalam membungkus keilmuannya dengan syari’at agama
menjadikannya mendapat gelar terhormat hujjayul islam. Dengan berbagai
kemampuan dan keilmuannya, beliau menuangkan pemikiran dan pandangannya
berbentuk karya-karya diberbagai cabang keilmuan. Dalam dunia tasawuf, terdapat
salah satu karya monumentalnya yang sekarang dijadikan rujukan dan dikaji di
berbaga studi keislaman. Buku yang dinamakan Ihya’ Ulumuddin itu telah dicetak beberapa kali. Dalam bidang
ushul fiqih, beliau menulis buku yang diberi judul Al-Mustashfa. Tidak hanya
berhenti pada cabang itu, dalam dunia filsafat pun beliau menulis buku yang
sangat terkenal dikalangan filsof muslim pada masa setehnya yaitu Tahafat
al-Falasifah.
Sebelum kita membahas pandangan
al-Ghazali mengenai hubungan ilmu dan agama, kita tidak bisa lepas dari
pandangannya mengenai ilmu. Dalam kitabnya Minhajul Abidin, Al-Ghazali
mengatakan ilmu adalah imamnya amal dan amal adalah makmumnya. Ilmu adalah
pemimpin dan pengamalan adalah pengikutnya. Ilmu ibarat permata yang harus
digali dan terus dicari oleh semua orang.
Dari segi akal, ilmu merupakan
keutamaan yang harus dimiliki dan diraih oleh manusia demi mendekatkan diri
kepada tuhannya. Orang yang berilmu, ilmunya akan mengantarkannya menuju jalan
kebenaran dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Al-Ghazali membagi ilmu menjadi
ilmu terpuji dan ilmu tercela. Ilmu terpuji adalah ilmu yang dapat mengantarkan
seseorang kepada kebenaran dan kebahagiaan di sisi tuhan. Ilmu fiqih, tauhid,
dan ilmu agma-agama yang lainnya dikategorikan dalam kategori ini. Ilmu tercela adalah ilmu yang menyebabkan berbagai
kerusakan baik kerusakan individual maupun kerusakan social. Sihir, mantra,
ramalan dan sebagainya masuk dalam kategori ini. Dalam mempelajari ilmu
Astronomi (perbintangan), hendaklah dibatasi dengan pembahasan dan pendalaman
dalam mencari suatu arah dan mencari kiblat. dalam ilmu kimia hendalaklah
dibatasi dengan ilmu kedokteran secukupnya.1
Penulis adalah Mahasiswa Institut Agama Islam Darullughah Waadda'wah (INI DALWA) BKI/II
0 komentar:
Posting Komentar