APA YANG HARUS DITINGGALKAN DARI DUNIA ?




Muzayyin



Banyak kita temukan para  orang tua dari keluarga modern yang selalu mengatakan kepada putra atau putrinya  “nak lebih baik kamu sekolah di sekolah formal saja,biar nggak gaptek dan gampang cari kerjanya” , atau dari keluarga over-agamis yang selalu menasehati  anaknya untuk tidak sekalipun tersentuh dengan pendidikan formal  karna menganggap materi  yang diajarkan sangat tidak bermanfaat.


Kedua pernyataan kontradiksi ini sangat jelas memberi tahu kita antara siapa yang hanya mementingkan perkara duniawi sedang ia lupa dengan akheratnya,dan juga sebaliknya.Dalam hal ini ada dua pertanyaan yang harus kita ketahui jawabanya,yaitu;Dapatkah dibenarkan jika kita lebih mementingkan dunia dibandingkan dengan akherat? Tentu jawabanya “tidak”, karna pada hakekatnya kehidupan kita yang sesungguhnya adalah akherat,bagaimana mungkin kita mengabaikan akherat padahal eksistensi dan keabadian kita adalah berada             di dalamnya.Lalu bagaimana jika kita tanggalkan semua keduniaan ini,padahal dunia adalah suatu keniscayaan sebelum beranjak ke alam baka? 

Allah SWT. Berfirman dalam surat Al-Qosos ayat : 77 :
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا                                                                      
Carilah negeri AKHIRAT pada nikmat yang diberikan Allah kepadamu, tapi jangan kamu lupakan bagianmu dari dunia“. (QS. Al-Qosos: 77).

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita agar memanfaatkan nikmat dunia yang Allah berikan, untuk meraih kemuliaan akherat,atau secara simple-nya: korbankanlah duniamu, untuk meraih akheratmu! Artinya, memang dunia adalah suatu keniscayaanbagi  kita untuk melaluinya sebelum akherat,semua  orangpun mengetahuinya,akan tetapi jangan lupa sekali lagi pada ayat yang telah tertulis di atas,Allah mengatakan “tapi jangan kamu lupakan bagianmu dari dunia” Ya, “bagianmu”, yakni bagian kecil dari duniamu, bukan setengahnya, apalagi semuanya. Jelas sekali dari ayat ini, bahwa kita harusnya mementingkan akherat, bukan seimbang dengan dunia, apalagi mendahulukan dunia,cukup kita ambil sedikit saja dari dunia untuk kita jadikan sebagai jembatan sekaligus bekal kita di akherat kelak.

Selanjutnya berkaitan dengan nasehat orang tua over-agamis tadi,yang tidak hanya meng-anak tirikan pendidikan formal saja,bahkan mengabaikanya seolah-olah tidak pernah ada.Apakah kemudian hal tersebutpun termasuk dari hal duniawi yang harus ditinggalkan?

Sebelum kita melangkah lebih jauh,ada satu kesimpulan yang harus kita ketahui terlebih dahulu,yaitu;bahwa permasalahan yang tersisa berlabuh pada perkara antara pendidikan formal dan non formal,bukan mengenai “harus ditinggalkan atau tidak” karna mungkin dianggap duniawi.

Dalam satu kesempatan ketika diadakan seminar pra-ospek mahasiswa, kami pernah mendengar seorang profesor memaparkan perspektif Imam Al-Ghozali tentang pembagian antara pendidikan formal dan non- formal,namun karna suasana waktu itu kurang begitu mendukung maka hanya sedikit yang bisa kami tangkap dari pemaparanya,akhirnya karna kami anggap penting tema seminar itu,maka kami putuskan untuk mencari pembahasanya di berbagai buku dan artikel,hasilnya kami menemukan pembahasan yang kami anggap memuaskan di sebuah artikel,isi artikelnya yaitu sebagai berikut:
Dewasa ini, kita sudah terbiasa dengan sebutan ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama lebih berorientasi dan berbasiskan pada wahyu, hadits Nabi, penalaran dan fakata sejarah sudah berkembang demikian pesat. Selanjutnya ilmu umum yang lebih berbasis pada penalaran akal dan data empirik juga berkembanglebih pesat. Antara keduanya seakan terdapat pemisahan wilayah dan seharusnya berjalan sendiri-sendiri.

Hal yang mendasar adalah pemahaman dan penilaian terhadap ilmu dan agama. Dalam pandangan Islam, ilmu mempunyai posisi yang sangat tinggi. Tidak mengherankan jika dalam nash-nash al-Qur’an ditemukan anjuran untuk menuntut ilmu. Bahkan ayat pertama kali yang diturunkan kepada Muhammad pun adalah anjuran untuk membaca dan belajar. Begitu juga agama, agama yang lebih dipahami sebagai suatu bentuk tingkah laku demi pendekatan diri kepada Tuhan juga tidak kalah penting.      

Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh yang menentang adanya dikotomi antara ilmu dan agama.  Bagi al-Ghazali, kedua seperti mata rantai yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan bahkan berjalan sendiri-sdendiri. Al-Ghazali sangat getol dalam penentangannya akan dikotomi ilmu dan agama. Argumentasi-argumentasi yang dipaparkannya pun menjajjikan bahkan beliau juga memberikan penggambaran yang nyata akan hubungan keduanya.

Yang menjadi persoalaan adalah dikotomi antara ilmu dan agama telah mengakibatkan adanya dikotomi antara ilmu umu dan ilmu agama. beberapa golongan merasa bahwa islam adalah sumber segalanya, ilmu-ilmu umum yang notabene berasal dari non Islam tidak patut untuk mendapat apresiasi. Sebaliknya sebagian dari mereka juga ada yang beranggapan bahwa ilmu adalah pusat kebenaran. Dengan ilmu seseorang akan hidup bahagia dimanapun berada khususnya di dunia ini.

Imam al-Ghazali merupakan salah satu tokoh agama yang sangat terkenal dikalangan orang islam. Selain tokah agama, beliau juga terkenal ahli dalam berbagai ilmu. Baik ilmu tasawuf, filsafat dan logika. Kemampuannya dalam membungkus keilmuannya dengan syari’at agama menjadikannya mendapat gelar terhormat hujjayul islam. Dengan berbagai kemampuan dan keilmuannya, beliau menuangkan pemikiran dan pandangannya berbentuk karya-karya diberbagai cabang keilmuan. Dalam dunia tasawuf, terdapat salah satu karya monumentalnya yang sekarang dijadikan rujukan dan dikaji di berbaga studi keislaman. Buku yang dinamakan Ihya’ Ulumuddin  itu telah dicetak beberapa kali. Dalam bidang ushul fiqih, beliau menulis buku yang diberi judul Al-Mustashfa. Tidak hanya berhenti pada cabang itu, dalam dunia filsafat pun beliau menulis buku yang sangat terkenal dikalangan filsof muslim pada masa setehnya yaitu Tahafat al-Falasifah.

Sebelum kita membahas pandangan al-Ghazali mengenai hubungan ilmu dan agama, kita tidak bisa lepas dari pandangannya mengenai ilmu. Dalam kitabnya Minhajul Abidin, Al-Ghazali mengatakan ilmu adalah imamnya amal dan amal adalah makmumnya. Ilmu adalah pemimpin dan pengamalan adalah pengikutnya. Ilmu ibarat permata yang harus digali dan terus dicari oleh semua orang.

Dari segi akal, ilmu merupakan keutamaan yang harus dimiliki dan diraih oleh manusia demi mendekatkan diri kepada tuhannya. Orang yang berilmu, ilmunya akan mengantarkannya menuju jalan kebenaran dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu terpuji dan ilmu tercela. Ilmu terpuji adalah ilmu yang dapat mengantarkan seseorang kepada kebenaran dan kebahagiaan di sisi tuhan. Ilmu fiqih, tauhid, dan ilmu agma-agama yang lainnya dikategorikan dalam kategori ini. Ilmu tercela  adalah ilmu yang menyebabkan berbagai kerusakan baik kerusakan individual maupun kerusakan social. Sihir, mantra, ramalan dan sebagainya masuk dalam kategori ini. Dalam mempelajari ilmu Astronomi (perbintangan), hendaklah dibatasi dengan pembahasan dan pendalaman dalam mencari suatu arah dan mencari kiblat. dalam ilmu kimia hendalaklah dibatasi dengan ilmu kedokteran secukupnya.1

Penulis adalah Mahasiswa Institut Agama Islam Darullughah Waadda'wah (INI DALWA) BKI/II

0 komentar:

Posting Komentar