REKONSTRUKSI PARADIGMA MAHASISWA SANTRI





“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut MUSLIM. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia” (Catatan Harian 9 Oktober 1969)


Kutipan kata-kata ini di lantunkan oleh seorang Santri, selain Nyantri Beliau juga seorang Mahasiswa Universitas Gajah Mada Yogjakarta, Ialah Ahmad Wahib, mungkin namanya masih tak setenar Soe Hok Gie atau Widji Tukul tapi Ialah simbol seorang Santri yang kebetulan menjadi Mahasiswa yang memiliki Progresifitas konsep pemikiran tentang apa itu arti sebuah Bangsa dan Agama bagi kelangsungan peradaban umat manusia.
Pemikiran-pemikiran seperti ini lah yang mungkin membuat rindu jiwa Insan Pergerakan yang berlatar belakang Agama yang kuat, yang tumbuh dari komunitas pendidikan Pesantren, karena di akui atau tidak, hari-hari ini Indonesia mengalami sebuah dekadensi pemikiran di kalangan kaum bersarung. Padahal jika kita menengok dalam alur lalu lintas sejarah kaum Sarungan (Santri), tak pernah lepas dari kata perjuangan merebut Kemerdekaan Indonesia, Mindset kaum Bersarung sekarang sudah berubah 180 %, banyak sekarang Santri yang hanya tahu sudut-sudut kecil gorong-gorong pesantren, tanpa Ia mau peduli dan tak mau mengerti bahwa di luar sana banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan Syari’at Islam yang terorganisir dengan rapi seperti Trafficking (Penjualan Manusia) di perbatasan Kalimantan-Serawak, Mafia Narkoba Internasional, hingga Penindasan Muslim di Rohingnya Myanmar yang seharusnya perkra-perkara seperti itu lah yang membutuhkan perhatian kita selaku kita Kader Islam yang di didik di lingkungan Islam yang seharusnya menjadikan beban moral kita semakin tinggi.

Pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan tertua di Indonesia yang murni hasil pemikiran bangsa Indonesia patut mencetak kader-kader Intelektual Progresif agar output pesantren sendiri tidak klah bersaing dengan output-outpun lulusan pendidikan Sekuler. Persaingan terus bergulir, Santri sebagai Output murni pendidikan khas Indonesia harus memiliki sensasi pemikiran di banding yang lain. Derasnya opini tentang era baru peradaban manusia yang sering di sebut Globalisasi menjadi tantangan besar bagi kita selaku kaum bersarung, apa lagi dunia sekarang sedang gencar-gencarnya membicarakan Pasar Bebas, Hak Asasi Manusia, dan Konsep hukum Tata Negara, membicarakan kebebasan Individu yang sangat Liberal hingga Isu-isu terorisme atas nama Jihad Fi sabilillah. Sekarang pertanyaan besar ada di benak kita, jika Dunia gencar membicarakan hal-hal tersebut apakah kita sebagai Kaum Santri, kader Pendidikan khas Indonesia hanya terpaku mendebatkan Ubudiyah, atau Etika Pergaulan Laki-laki dan Perempuan saja ?. memang dalam konteks keilmuan atau sosial baik, tapi di luar itu, cobalah untuk merangsak masuk dalam pergolakan pemikiran dan pergerakan Global, karena memang hal itu sangat penting bagi kita, melestarikan Pesantren melalui jalur-jalur yang beberapa santri di anggap Subhat. 

Semisal bukan salah jika seorang Santri di kemudianya menjadi seorang Birokrat, atau Diplomat, Politikus, Enterprener, Musisi, atau terjun dalam dunia Media Sosial yang memang oleh kebanyakan santri profesi-profesi tersebut jarang di tengok. Padahal bayangkan jika yang duduk di kursi Parlement Indonesia adalah orang-orang Sekuler, maka produk hukum yang di hasilkan adalah undang-undang yang menyampingkan Syari’at Islam, mungkin jika dari dulu para Kiya’i enggan terjun di dunia politik mungkin Inpres no 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, atau UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tak akan terbentuk. Jika seorang santri enggan terjun di dunia Media maka berita yang tersajikan hanya berita manipulatif yang tidak pro dengan Islam. Padahal hal-hal tersebut sangat penting dalam keberjalanan Islam sebagai Rohmatal Llil Alamin.
Sadar atau tidak bahwa pertarungan Islam saat ini bukan lagi masalah perdebatan Hukum Ibadah, atau saling menyalahkan tingkah Golongan lain, tapi pertarungan besar kita lebih pada pertarungan Konsep Ekonomi, Kenegaraan, dan Kemiliteran. Jika bangsa Yahudi sudah berabad-abad mengkonsep Ekonomi Kapitalis, mengarahkan dunia pada pola satu kepemimpinan, dengan membuat sebuah Konsep negara Liberal yang di tujukan dalam Big Projeck Dunia dalam Satu Komando (New World Order) yang terorganisisr dalam sebuah Ordo Rahasia Illumination dan Fremosomre, lalu para Ateis Komunis yang Gencar-gencarnya mengkampanyekan Ekonomi Sosialis dengan Konsep Ekonomi Komunisme yang terwakili oleh Negara China dan Rusia, atau juga Gerakan Orientalis yang dengan membolak-balikan Fakta menuduh Muhammad seorang pembohong besar, membuat karikatur dan Video yang menjelek-jelekan Nabi kita, atau juga Gerakan Radikal Islam sendiri yang mengatasnamakan Jihad menghalalkan pembunuhan. Jika kita seorang Santri tak peduli pada hal-hal tersebut, dan hanya puas dengan keilmuanya yang terbatas pada masalah Ubudiyah saja, maka Islam sebagai Agama yang Rohmatal lil Alamin akan di tenggelamkan oleh derasnya arus perubahan. Karena Perubahan adalah keniscayaan, kita Santri harus siap dengan perubahan.

Mari kita bersama-sama merubah Paradikma kita sebagai seorang Santri, apalagi kita juga Mahasiswa yang memiliki tanggung jawab sosial sebagai Agent of Change, Sosial Control dan Iron Stoke harus menduduki posisi terdepan untuk menjawab semua problematika-problematika kekinian dan keakanan, Karna Santri adalah seorang Nasionalis Religius, tidak hanya Nasionalis yang Sekuler atau Religius yang Ortodok tapi kita Santri Mahasiswa kaum yang progresif yang siap menghadapi perubahan Zaman menuju Negara dan Agama yang dikdaya.

Oleh : Musthafinal Akhyar (Presma Demisioner STAIRA Lamongan & Dewan Pertimbangan Halaqah BEM Pesantren)

0 komentar:

Posting Komentar