
Pesantren diyakini sebagai produk indigenous budaya lokal Nusantara (mengingat lembaga ini telah ada sejak proses islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo di Nusantara) dengan muatan ilmu-ilmu agama, akhlak, hukum dan sosial kemasyarakatan.
Seiring berjalannya waktu, bentuk-bentuk Pesantren kemudian terbagi ke dalam dua tipologi besar yang berbeda, Salafi (tradisional) dan Khalafi (modern). Salafi dicirikan secara sederhana dengan tata kelola, sistem, materi dan metode pengajaran hingga orientasi yang dominan mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya. Pesantren Lirboyo, Pesantren Sarang Rembang, Pesantren Maslakul Huda Pati dan Pesantren Tremas Pacitan adalah contoh pesantren yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalisme-nya. Sedangkan khalafi, selain secara tata kelola, sistem, materi dan metode pengajaran yang telah menggunakan pendekatan modern, juga dapat dicirikan sebagai pesantren yang telah memasukkan pelajaran umum (bahkan vokasional) atau spesifikasi keahlian tertentu, Pesantren Darussalam Gontor, Pesantren Al Amin Prenduan dan Pesantren Tebuireng adalah beberapa tipikal pesantren khalaf.
Sedangkan pengertian tafaqquh fiddin sendiri lumrah dipahami secara terbatas dan sempit hanya tersekat pada ‘ulumuddin atau ilmu-ilmu agama yang berorientasikan ukhrawi saja. Padahal pemahaman addin secara utuh dapat dipahami sebagai wadh’un ilahiyyun sa’iqun li dzawuu ‘uquli as salimah ila ma huwa khoirun lahum fi dunyahum wa akhiratihim (ketentuan-ketentuan Ilahi yang mendorong siapapun yang berakal sehat, untuk berbuat sesuatu yang baik bagi mereka di dunia dan di akhirat). Dengan demikian dapat disimpulkan tidak ada klasifikasi dan pembagian dikotomis dalam ‘ulumuddin. Ia mencakup duniawi dan ukhrawi secara bersamaan dan tidak saling terisolir antara satu dengan yang lain karena addin mendorong untuk melakukan kebaikan bagi siapapun dengan tidak memisahkan duniawi dan ukhrawi.
Sebagaimana umum diketahui, Pesantren telah dihadapkan pada banyak perubahan-penyempurnaan sebagai bentuk survivalitas dan fleksibilitasnya dalam menyesuaikan dunia pendidikan pada umumnya, tidak terkecuali pada era modernisasi yang menuntunnya pada transformasi institusi pesantren, salah satunya dengan menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi dengan pendekatan formal-modern. Ada dua jenis lembaga pendidikan tingkat tinggi yang ada di Pesantren dengan distinksinya masing-masing, yakni Ma’had ‘Aly dan Perguruan Tinggi (Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas). Secara umum Ma’had ‘Aly mewakili (meskipun tidak semuanya dan berlaku secara umum) metode pendidikan pesantren salaf jika dilihat dari aspek tradisionalitasnya yang didasarkan pada kajian-kajian kitab klasik, hanya terfokus pada satu bidang keilmuan tertentu (fiqh, tafsir, hadits, tasawwuf) dengan literatur-literatur kitab kuning klasik serta metode yang dipakai dalam pengajaran seperti halaqah atau sorogan.
Lahirnya Perguruan Tinggi (Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas) sebagai jenjang lanjutan dari pesantren berangkat dari ghirah untuk menguatkan institusi pesantren. Bedanya, jika Ma’had ‘Aly cenderung konservatif mempertahankan sisi tradisional dan kearifan pesantren (bahkan mungkin silsilah guru dan isnadiyah ‘ilmiyyah masih dapat ditemukan di Ma’had ‘Aly), Perguruan Tinggi adalah representasi sikap akomodatif pesantren terhadap modernisme dan hal-hal yang sama sekali baru tanpa harus meninggalkan spirit dan nilai fundamental pesantren. Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo, Institut Pesantren Sunan Drajad (INSUD) Paciran Lamongan, Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Kajen Pati sampai Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Khozinatul Ulum Blora adalah sebagian Perguruan Tinggi berbasis pesantren. Beberapa pesantren Jawa Timur malah memiliki Ma’had ‘Aly dan Perguruan Tinggi sekaligus, diantaranya ada Pesantren Tebuireng (Universitas Hasyim Asy’ari dan Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari), Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo (Universitas Ibrahimy dan Ma’had ‘Aly Salafiyah Syafi’iyyah) dan Pesantren Al Fithrah Kedinding Lor Surabaya (Sekolah Tinggi Agama Islam Al Fithrah dan Ma’had ‘Aly Al Fithrah).
Sebagai lembaga pendidikan tingkat tinggi yang ada di pesantren, baik Ma’had ‘Aly maupun Perguruan Tinggi adalah pertemuan dua simpul, antara modernitas, metode-metode ilmiyah, riset dan intelektualisme ala Perguruan Tinggi dengan falsafah religiusitas, kesederhanaan dan nilai-nilai akhlaqul karimah pesantren. Perguruan Tinggi Pesantren adalah aktualisasi prinsip al muhafadzatu ‘alal qadimish shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah (konservatif terhadap tradisi lama yang masih relevan serta akomodatif terhadap hal-hal baru yang lebih progresif), keberadaan Perguruan Tinggi akan mengembangkan metodologi pesantren yang semula shalih menjadi ashlah sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan dan kebutuhan masyarakat.
Akan tetapi jika dilihat lebih jauh dengan sudut pandang kritis, hal yang paling umum didapati dalam Perguruan Tinggi Pesantren adalah pilihan jurusan, kajian dan literaturnya masih banyak didominasi oleh empat fakultas “mainstream”, Tarbiyah Dakwah Syari’ah dan Ushuluddin. Meskipun tidak berlaku secara umum dan bukan penyebab utama, ini yang (ditengarai) menjadikan dinamika intelektual Perguruan Tinggi Pesantren kurang kuat dan variatif meskipun telah ada muatan mata kuliah logika, filsafat, ekonomi dan sosiologi. Lebih dari itu, jika melihat mayoritas pesantren secara geografis terletak di penjuru daerah dengan tipologi mahasantrinya (atau dalam idiom lain disebut mahasiswa santri) cenderung homogen dan seragam jika dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Umum maupun Agama Islam lain, khususnya yang berada di tengah-tengah kota besar.
Ini menjadi tantangan Perguruan Tinggi Pesantren, (selain meningkatkan-menyempurnakan aspek tata kelola akademik, administrasi dan sarana-prasarana serta ketenagakerjaan) sehingga pada waktunya, output Perguruan Tinggi Pesantren adalah representasi ideal insan shalih dan akram. Shalih berarti manusia yang berhak mewarisi (mengelola dan mengatur) bumi (QS. Al Anbiyaa’ : 105), dan akram dimaknai sebagai manusia yang paling bertaqwa di sisi Allah SWT. (QS. Al Hujuraat : 13).